Malikiyah memasukkan akad wadi’ah sebagai salah satu jenis akad wakalah(pemberian kuasa), hanya saja wakalah yang khusus untuk menjaga harta benda saja tidak untuk tadarrus yang lain. Oleh karena itu, wakalah dalam jual beli tidak termasuk wadi’ah. Demikian pula titipan yang bukan harta benda, seperti menitipkan bayo, tidak termasuk wadi’ah. Sedangkan dalam definisi yang kedua wadi’ah dimasukkan kedalam akad pemindahan tugas menjaga harta benda dari si pemilik kepada orang lain tanpa melalui tasarruf. Dengan demikian, pemindahan hak milik kepada orang lain dengan melalui transaksi seperti jual beli, gadai, ijarah dan lain-lain tidak termasuk wadi’ah.
Syarat benda yang dititipkan
1)
Apabila benda tersebut tidak disimpan, seperti burung diudara atau benda
yang jatuh kedalam air, maka wadi’ah tidak sah sehingga apabila hilang, tidak
wajib mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama hanafiah.
2)
Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan.
Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada
manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.
Syarat shighat
Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus
disertai dengan niat. Contoh lafal yang sharih “saya titipkan barang ini kepada
anda”. Sedangkan contoh lafal sindiran yaitu seseorang mengatakan “berikan
kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab : “saya berikan mobil ini kepada
anda”. Kata berikan mengandung arti hibah dan wadi’ah. Dalam konteks ini arti
yang paling dekat adalah titipan
Syarat orang yang menitipkan
2)syart ini dikemukakan oleh syafi’iyah wadiah tidak sah
apabila dilakukan oleh anak yang belum baligh (masih dibawah umur). Tetapi
menurut hanafiah, baligh tidak menjadi syarat wadi’ah sehingga wadi’ah sah
hukumnya apabila dilakukan oleh anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya
atau washiynya.
Syarat orang yang dititipi
1)
Tidak sah wadiah dari orang yang gila dan anak dibawh umur. Hal ini
dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah kewajiban menjaga harta,
sedangkan oramg yang tidak berakal tidak mampu untuk menjaga barang yang
dititipkan kepadanya.
2)
Syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi, hanafiah tidak
menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia
sudah mumayyiz.
Status wadi’ah
Penyerahan titipan tersebut harus langsung kepada diri
pemilik barang, bukan kepada orang lain, meskipun ia keluarganya. Hal ini
berbeda dengan pinjaman (ariyah) dan ijarah, yang pengembaliannya boleh kepada
anggota keluarga pemilik barang,
berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku. Akan tetapi untuk barang-barang yang
berharga, seperti emasa dan permata, pengembaliannya harus langsung kepada
pemiliknya. Apabila barang tersebut dikembalikan kepada anggota keluarganya
kemudian hilang maka peminjam atau penyewa wajib mengganti kerugian karena
penyerahan dengan cara demikian menyalahi adat kebiasaan yang berlaku.
EmoticonEmoticon