A.
Definisi Liberasionisme
Pendidikan
Secara etimologis liberasion
berasal dari bahasa Portugis, yakni dari kata liberacion yang artinya
pembebasan. Pendidikan liberasion mendorong pembaharuan sosial dengan cara
memaksimalkan kemerdekaan personal di dalam sekolah, serta mengkondisikan
pendidikan dengan kondisi yang manusiawi. Liberasionisme pendidikan menurut
William F. O’Neil adalah ideologi pendidikan yang beranggapan bahwa sasaran
puncak pendidikan haruslah berupa pelaksanaan pembangunan kembali masyarakat
yang mengikuti jalur-jalur yang sungguh-sungguh berkemanusiaan (humanis), yang
menekankan perkembangan sepenuhnya potensi-potensi setiap orang sebagai makhluk
manusia.[1]
B.
Corak Liberasionisme
Pendidikan
Ada
tiga corak liberasionisme pendidikan, yaitu :
1.
Liberasionisme Reformis
(Pembaharu)
Sikap ini berisi
anggapan bahwa kita harus mengoreksi atau membetulkan ketidakadilan sosial
mendasar yang ada didalam sistem pendidikan sendiri (seperti yang tampak dalam
penyatuan kembali sekolah-sekolah yang semula dipisah-pisah berdasarkan ras,
layanan bus sekolah secara umum tanpa membeda-bedakan, pelajaran pengganti bagi
mereka yang tidak beruntung dalam hal pendidikan, dan seterusnya) maupun dalam
masyarakat secara keseluruhan (melalui penyebarluasan informasi mengenai
ketidakadilan sosial, mendidik anak-anak tentang perlunya corak-corak aksi
sosial tertentu, dan semacamnya). Ringkasnya, sekolah harus secara aktif
mendakwahkan penanaman sepenuhnya prinsip-prinsip demokratis didalam sistem
yang sudah ada.[2]
Liberasionisme
reformis barangkali paling terwakili disaat ini oleh lima gerakan reformis
dalam masyarakat Amerika :
a.
Gerakan pembebasan
masyarakat kulit hitam (Afro-Amerika)
b.
Gerakan pembebasan
perempuan.
c.
Gerakan pembebasan
kaum Hispanik-Amerika
d.
Gerakan pembebasan
masyarakat Pribumi Amerika (Indian-Amerika)
e.
Gerakan pembebasan
kaum gay atau homoseksual.[3]
2.
Liberasionisme
Radikal
Kaum liberasionisme
radikal akan menggunakan sekolah-sekolah untuk mengkritik dan membangun kembali
dasar-dasar kebudayaan kita. Sebagaimana mereka melihatnya, kita perlu
memikirkan kembali dan memperbaiki secara radikal lembaga-lembaga tertentu yang
paling fundamental yang menyangga berdirinya masyarakat kita (misalnya, gereja-gereja
tradisional, kapitalisme, demokrasi, gender, keluarga, dan seterusnya).
Kaum liberasionis
radikal sebuah kelompok yang terentan John Dewey hingga ketokoh-tokoh
kontemporer seperti sang pendidik dari Brasil, Paulo Freire, terbagi menjadi
dua sudut pandang utama, yaitu :
a.
Yang bisa disebut
liberasionisme pra-revolusioner, mengakukan jenis pendidikan yang perlu untuk
menciptakan kesadaran revolusioner sebagai sebuah jalan untuk menimbulkan
tuntutan rakyat bagi penstrukturan kembali sistem sosio-ekonomi yang ada
sekarang.
b.
Yang barangkali
dapat dinamakan liberasionisme radikal pasca-revolusioner terutama mempedulikan
jenis pendidikan yang dibutuhkan untuk membangun dan memperkokoh sebuah negara
sosialis berundang-undang dasar baru, dalam era sesudah tercapainya revolusi
politik.[4]
3.
Liberasionisme
Revolusioner
Kaum liberasionisme
revolusioner menganggap bahwa karena sekolah-sekolah adalah lembaga-lembaga
yang melayani kepentingan-kepentingan budaya pada umumnya, dan karena budaya
itu sendiri adalah kekuatan pendidikan utama dalam kehidupan anak-anak maka
sekolah-sekolah itu sendiri tidak bisa berharap secara realistis untuk
menbangun kembali masyarakat lewat kritik internal apapun juga terhadap
praktik-praktik yang ada. Satu-satunya cara supaya sekolah-sekolah dapat
menandingi secara efektif sebuah sistem sosial yang tidak memanusiakan manusia
adalah dengan cara menghapuskan segala kepura-puraan dalam mendidik anak-anak
yang sudah dijadikan tak mungkin dididik oleh kekuatan-kekuatan sosial yang
besar. Kaum liberasionisme revolusioner yakin bahwa sekolah musti menjadi agen
dasar bagi penyebarluasan revolusi sosial.[5]
C.
Liberasionisme
dalam Pendidikan
1.
Tujuan Pendidikan
Secara Menyeluruh
Tujuan Pendidikan adalah untuk mendorong
pembaharuan-pembaharuan sosial yang perlu dengan cara memaksimalkan kemerdekaan
personal didalam sekolah , serta dengan cara membela kondisi-kondisi yang lebih
manusiawi dan memanusiakan didalam masyarakat secara umum.
2.
Sasaran- sasaran
Sekolah
Sekolah ada lantaran tiga alasan utama :
a.
Untuk membantu para
siswa mengenali dan menanggapi kebutuhan akan pembaharuan sosial yang perlu
b.
Menyediakan
informasi dan ketrampilan- ketrampilan yang diperlukan oleh siswa supaya bisa
belajar sendiri secara efektif.
c.
Mengajarkan siswa
bagaimana cara menyelesaikan masalah praktis melalui penerapan teknik- teknik
penyelesaian masalah secara individual maupun berkelompok yang didasari oleh
metoda-
metoda
ilmiah rasional.[6]
3.
Ciri- ciri umum
a.
Menganggap bahwa
pengetahuan adalah alat yang diperlukan untuk mendatangkan pembaharuan/perombakan sosial yang perlu.
b.
Menekankan manusia
sebagai sebentuk keluaran budaya, budaya merupakan penentu-sosial kedirian
c.
Menekankan analisis objektif (ilmiah rasional)
serta evaluasi/penilaian terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik
sosial yanga ada.
d.
Menganggap pendidikan sebagai perujudan yang
paling utuh dari potensi-potensi khas tiap orang
sebagai mahluk manusia.
e.
Memusatkan
perhatian pada kondisi- kondisi sosial yang menghalangi perujudan paling penuh
dari potensi- potensi individu, menekankan
masa depan (yakni, perubahan-perubahan dalam system yang ada sekarang, yang
perlu untuk mendirikan masyarakat yang lebih manusiawi dan memanusiakan).
f.
Menekankan
perubahan-perubahan ruang lingkup besar yang segera harus dilakukan didalam
masyarakat yang ada sekarang, menekankan p[erubahan-perubahan penting yang akan
mempengaruhi sifat-sifat hakiki dan pelaksanaan system sosial yang mapan.
g.
Didasarkan pada system
penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan secara
ilmiah-rasional) dan/atau prakiraan-prakiraan yang sesuai denagn system
penyelidikan semacam itu.
h.
Didirikan atas landasan prakiraan-prakiraan Marxis atau Marxis-baru tentang penentuan seluruh
kesadaran personal oleh yang ditentukan oleh
factor sosio-ekonomis.
i.
Menganggap bahwa
wewenang intelektual tertinggi ada ditangan mereka yang memahami konsekuensi-
konsekuensi patologis(bersifat merusak/berpenyakit) dari kapitalisme
kontemporer dan segenap sikap sosial yang dihubungkan dengannya.[7]
4.
Anak- anak sebagai
Pelajar
Anak-anak condong untuk
menjadi baik (yakni kea rah tindakan yang efektif dan tercerahkan) jika diasuh
dalam sebuah masyarakat yang baik (yakni bersifat rasional dan berkemanusiaan).
Perbedaan-perbedaan individual
lebih penting ketimbang kesamaan kesamaan individual dan perbedaan- perbedaan
itu bersifat menentukan penetapan program- program-program pendidikan.
Anak-anak secara moral setara dan
mereka musti mendapatkan kesempatan yang setara untuk berjuang demi
ganjaran-ganjaran sosial dan intelektual yang lebih luas, lebih mudah diakses,
dan dibagikan secara lebih adil/merata.
Kedirian (kepribadian) tumbuh dari
pengkondisian sosial, dan diri yang bersifat sosial ini menjadi landasan bagi
penentuan ‘diri’ lanjutan; anak hanya bebas di dalam konteks determinisme
sosial dan ppsikologis.
5.
Administrasi dan
Pengendalian
Wewenang pendidikan
musti ditanamkanditangan minoritas yang tercerahkan, yang terdiri atas para
intelektual yang bertanggung jawab, yang sepenuhnya sadar akan kebutuhan
objektif bagi perubahan- perubahan sosial yang konstruktif, dan yang mampu
menanamkan perubahan-perubahan semacam itu melalui sekolah- sekolah.
Wewenang guru musti terutama
didasari ketajaman intelektualnya serta kesadaran sosialnya yang tercerahkan.
6.
Sifat- sifat Hakiki
Kurikulum
a.
Sekolah harus menekankan
pembaharuan atau perombakan sosio ekonomis
b.
Sekolah musti
memusatkan perhatian pada pemahaman diri serta tindakan sosial sekaligus.
c.
Penekanan musti
diletakkan pada tindakan yang cerdas dalam mengejar keadilan sosial.
d.
Mata pelajaran harus
bersifat pilihan dalam batas-batas penentuan yang umum.
e.
Penekanan harus
diletakkan pada penerapan praktis dari yang sifatnya intelektual (praksis)
melebihi apa yang secara sempit bersifat praktis ataupun akademis.
f.
Sekolah musti
menekankan problema-problema sosial yang controversial, menekankan pengenalan
dan analisis terhadap nilai-nilai dan prakiraan-prakiraan dasar yang
menggarisbawahi isu-isu sosial, dan memperagakan kepedulian khusus terhadap
penerapan apa yang dipelajari didalam ruang kelas kepada kegiatan-kegiatan yang
punya arti penting secara sosial diluar sekolah; sekolah musti secara tipikal
menampilkan pendekatan-pendekatan antar disiplin keilmuan yang berpusat pada problema, yang meliputi wilayah kajian seperti
filosofi, psikologi, kesusasteraan kontemporer, sejarah, dan ilmu-ilmu
behavioral dan sosial.[8]
7.
Pelajaran
Menekankan problema-problema dan isu-isu
sosial yang controversial, menekankan pengenalan dan analisis terhadap
nilai-nilai dan pra anggapan yang melatarbelakangi kepedulian khusus terhadap
penerapan apa yang dipelajari di kelas dalam kegiatan-kegiatan yang punya arti
sosial penting diluar kelas, secara tipikal menempatkan pendekatan-pendekatan
yang berpusat pada problema antar disiplin keilmuan yang mencakup wilayah
psikologi, filosofi, kesusateraan masa kini, sejarah dan ilmu-ilmu behavioral dan sosial.[9]
8.
Metode Pengajaran
dan Penilaian Hasil Belajar
Harus ada penekanan yang kurang
lebih seimbang atau setara pada pemahaman problema (pengenalan dan analisis
terhadap problema-problema secar tepat) serta pemecahan masalah.
Disiplin dan hapalan mungkin
kadang-kadang perlu supaya bisa menguasai sebuah keterampilan yang akan
diperlukan demi menangani problema-problema personal atau sosial yang penting
secra efektif, namun kegiatan belajar pada dasarnya adalah keluaran sampingan
dari kegiatan yang bermakna, dan hapalan harus diminimalisir dan/atau dihapus
sama sekali jika mungkin.
Kegiatan belajar
mengajar yang diarahkan oleh siswa dalam kerangka kerja kurikulum yang
ditentukan berdasarkan relevansi sosialnya adalah lebih tinggi/lebih baik
daripada belajar dengan ditentukan dan diarahkan oleh guru.
Sang guru harus dipandang sebagai
panutan dalam hal komitmen intelektual serta keterlibatan sosialnya.
Ujian yang
didasarkan kepada perilaku para siswa yang tanpa dilatih/dipersiapkan lebih
dulu sebagai tanggapan atas persoalan-persoalan sosial yang penting adalah
lebih disukai ketimbang ujian yang dinilai berdasarkan tes-tes biasa diruang
kelas.
Persaingan antar pribadi dan penyusunan
peringkat nilai siswa secara tradisional harus diminimalisir dan/atau dihapus
sama sekali jika mungkin, sebab hal-hal semacam itu menuntun siswa pada
sikap-sikap buruk dan motivasi diri yang merosot.
Penekanan harus diletakkan pada
perlunya lembaga-lembaga sosial yang baru (termasuk lembaga pendidikan).
Bimbingan dan
penyuluhan personal, serta terapi kejiwaan sebagaimana yang ada di luar sekolah
saat ini, umumnya berfungsi sebagai bentuk tersembunyi dari control sosial dan
pelatihan penyesuaian diri anak yang menghalangi kesadaran anak akan
kondisi-kondisi sosial yang melatarbelakanginya, yang melahirkan
problema-problema kejiwaan individual.
9.
Kendali Ruang Kelas
Para siswa musti
dianggap bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka sendiri dalam arti
seketika, namun musti diakui bahwa pertanggung jawaban siswa pada puncaknya tak
bisa dituntutdalam arti menurrut konsep ‘kehendak bebas’ tradisional.
Para guru harus
bersifat demokratis dan objektif dalam menentukan tolok ukur perilaku,
dan tolok ukur semacam itu harus ditentukan secara bersama-sama dengan para
siswa, sebagai cara mengembangkan rasa tanggung-jawab moral mereka
Lantaran tindakan yang bermoral adalah tindakan yang paling
cerdas, dalam situasi apapun, maka peningkatan
kecerdasan praktis adalah corak pendidikan moral yang paling efektif. Disisi
lain, tindakan yang cerdas, sebagai sebuah cita-cita atau corak ideal secara
sosial yang dianjurkan, memerlukan adanya masyarakat yang cerdas (yang
objektif) dimana setiap orang diberi kesempatan yang setara untuk membuat pilihan-pilihan
tercerahkan berdasarkan kesempatan-kesempatan pendidikan yang setara.[10]
EmoticonEmoticon