Tuesday 11 November 2014

LIBERASIONISME PENDIDIKAN

Tags



A.   Definisi Liberasionisme Pendidikan
Secara etimologis liberasion berasal dari bahasa Portugis, yakni dari kata liberacion yang artinya pembebasan. Pendidikan liberasion mendorong pembaharuan sosial dengan cara memaksimalkan kemerdekaan personal di dalam sekolah, serta mengkondisikan pendidikan dengan kondisi yang manusiawi. Liberasionisme pendidikan menurut William F. O’Neil adalah ideologi pendidikan yang beranggapan bahwa sasaran puncak pendidikan haruslah berupa pelaksanaan pembangunan kembali masyarakat yang mengikuti jalur-jalur yang sungguh-sungguh berkemanusiaan (humanis), yang menekankan perkembangan sepenuhnya potensi-potensi setiap orang sebagai makhluk manusia.[1]
B.   Corak Liberasionisme Pendidikan
Ada tiga corak liberasionisme pendidikan, yaitu :
1.      Liberasionisme Reformis (Pembaharu)
Sikap ini berisi anggapan bahwa kita harus mengoreksi atau membetulkan ketidakadilan sosial mendasar yang ada didalam sistem pendidikan sendiri (seperti yang tampak dalam penyatuan kembali sekolah-sekolah yang semula dipisah-pisah berdasarkan ras, layanan bus sekolah secara umum tanpa membeda-bedakan, pelajaran pengganti bagi mereka yang tidak beruntung dalam hal pendidikan, dan seterusnya) maupun dalam masyarakat secara keseluruhan (melalui penyebarluasan informasi mengenai ketidakadilan sosial, mendidik anak-anak tentang perlunya corak-corak aksi sosial tertentu, dan semacamnya). Ringkasnya, sekolah harus secara aktif mendakwahkan penanaman sepenuhnya prinsip-prinsip demokratis didalam sistem yang sudah ada.[2]
Liberasionisme reformis barangkali paling terwakili disaat ini oleh lima gerakan reformis dalam masyarakat Amerika :
a.       Gerakan pembebasan masyarakat kulit hitam (Afro-Amerika)
b.      Gerakan pembebasan perempuan.
c.       Gerakan pembebasan kaum Hispanik-Amerika
d.      Gerakan pembebasan masyarakat Pribumi Amerika (Indian-Amerika)
e.       Gerakan pembebasan kaum gay atau homoseksual.[3]
2.      Liberasionisme Radikal
Kaum liberasionisme radikal akan menggunakan sekolah-sekolah untuk mengkritik dan membangun kembali dasar-dasar kebudayaan kita. Sebagaimana mereka melihatnya, kita perlu memikirkan kembali dan memperbaiki secara radikal lembaga-lembaga tertentu yang paling fundamental yang menyangga berdirinya masyarakat kita (misalnya, gereja-gereja tradisional, kapitalisme, demokrasi, gender, keluarga, dan seterusnya).
Kaum liberasionis radikal sebuah kelompok yang terentan John Dewey hingga ketokoh-tokoh kontemporer seperti sang pendidik dari Brasil, Paulo Freire, terbagi menjadi dua sudut pandang utama, yaitu :
a.       Yang bisa disebut liberasionisme pra-revolusioner, mengakukan jenis pendidikan yang perlu untuk menciptakan kesadaran revolusioner sebagai sebuah jalan untuk menimbulkan tuntutan rakyat bagi penstrukturan kembali sistem sosio-ekonomi yang ada sekarang.
b.      Yang barangkali dapat dinamakan liberasionisme radikal pasca-revolusioner terutama mempedulikan jenis pendidikan yang dibutuhkan untuk membangun dan memperkokoh sebuah negara sosialis berundang-undang dasar baru, dalam era sesudah tercapainya revolusi politik.[4]
3.      Liberasionisme Revolusioner
Kaum liberasionisme revolusioner menganggap bahwa karena sekolah-sekolah adalah lembaga-lembaga yang melayani kepentingan-kepentingan budaya pada umumnya, dan karena budaya itu sendiri adalah kekuatan pendidikan utama dalam kehidupan anak-anak maka sekolah-sekolah itu sendiri tidak bisa berharap secara realistis untuk menbangun kembali masyarakat lewat kritik internal apapun juga terhadap praktik-praktik yang ada. Satu-satunya cara supaya sekolah-sekolah dapat menandingi secara efektif sebuah sistem sosial yang tidak memanusiakan manusia adalah dengan cara menghapuskan segala kepura-puraan dalam mendidik anak-anak yang sudah dijadikan tak mungkin dididik oleh kekuatan-kekuatan sosial yang besar. Kaum liberasionisme revolusioner yakin bahwa sekolah musti menjadi agen dasar bagi penyebarluasan revolusi sosial.[5]

C.   Liberasionisme dalam Pendidikan
1.      Tujuan Pendidikan Secara Menyeluruh
Tujuan Pendidikan adalah untuk mendorong pembaharuan-pembaharuan sosial yang perlu dengan cara memaksimalkan kemerdekaan personal didalam sekolah , serta dengan cara membela kondisi-kondisi yang lebih manusiawi dan memanusiakan didalam masyarakat secara umum.
2.      Sasaran- sasaran Sekolah
Sekolah ada lantaran tiga alasan utama :
a.       Untuk membantu para siswa mengenali dan menanggapi kebutuhan akan pembaharuan sosial yang perlu
b.      Menyediakan informasi dan ketrampilan- ketrampilan yang diperlukan oleh siswa supaya bisa belajar sendiri secara efektif.
c.       Mengajarkan siswa bagaimana cara menyelesaikan masalah praktis melalui penerapan teknik- teknik penyelesaian masalah secara individual maupun berkelompok yang didasari oleh metoda- metoda ilmiah rasional.[6]
3.      Ciri- ciri umum
a.       Menganggap bahwa pengetahuan adalah alat yang diperlukan untuk mendatangkan pembaharuan/perombakan sosial yang perlu.
b.      Menekankan manusia sebagai sebentuk keluaran budaya, budaya merupakan penentu-sosial kedirian
c.       Menekankan analisis objektif (ilmiah rasional) serta evaluasi/penilaian terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik sosial yanga ada.
d.      Menganggap pendidikan sebagai perujudan yang paling utuh dari potensi-potensi khas tiap orang sebagai mahluk manusia.
e.       Memusatkan perhatian pada kondisi- kondisi sosial yang menghalangi perujudan paling penuh dari  potensi- potensi individu, menekankan masa depan (yakni, perubahan-perubahan dalam system yang ada sekarang, yang perlu untuk mendirikan masyarakat yang lebih manusiawi dan memanusiakan).
f.       Menekankan perubahan-perubahan ruang lingkup besar yang segera harus dilakukan didalam masyarakat yang ada sekarang, menekankan p[erubahan-perubahan penting yang akan mempengaruhi sifat-sifat hakiki dan pelaksanaan system sosial yang mapan.
g.      Didasarkan pada system penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional) dan/atau prakiraan-prakiraan yang sesuai denagn system penyelidikan semacam itu.
h.      Didirikan atas landasan prakiraan-prakiraan Marxis atau Marxis-baru tentang penentuan seluruh kesadaran personal oleh yang ditentukan oleh factor sosio-ekonomis.
i.        Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi ada ditangan mereka yang memahami konsekuensi- konsekuensi patologis(bersifat merusak/berpenyakit) dari kapitalisme kontemporer dan segenap sikap sosial yang dihubungkan dengannya.[7]
4.      Anak- anak sebagai Pelajar
Anak-anak condong untuk menjadi baik (yakni kea rah tindakan yang efektif dan tercerahkan) jika diasuh dalam sebuah masyarakat yang baik (yakni bersifat rasional dan berkemanusiaan).
Perbedaan-perbedaan individual lebih penting ketimbang kesamaan kesamaan individual dan perbedaan- perbedaan itu bersifat menentukan penetapan program- program-program pendidikan.
Anak-anak secara moral setara dan mereka musti mendapatkan kesempatan yang setara untuk berjuang demi ganjaran-ganjaran sosial dan intelektual yang lebih luas, lebih mudah diakses, dan dibagikan secara lebih adil/merata.
Kedirian (kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial, dan diri yang bersifat sosial ini menjadi landasan bagi penentuan ‘diri’ lanjutan; anak hanya bebas di dalam konteks determinisme sosial dan ppsikologis.
5.      Administrasi dan Pengendalian
Wewenang pendidikan musti ditanamkanditangan minoritas yang tercerahkan, yang terdiri atas para intelektual yang bertanggung jawab, yang sepenuhnya sadar akan kebutuhan objektif bagi perubahan- perubahan sosial yang konstruktif, dan yang mampu menanamkan perubahan-perubahan semacam itu melalui sekolah- sekolah.
Wewenang guru musti terutama didasari ketajaman intelektualnya serta kesadaran sosialnya yang tercerahkan.

6.      Sifat- sifat Hakiki Kurikulum
a.       Sekolah harus menekankan pembaharuan atau perombakan sosio ekonomis
b.      Sekolah musti memusatkan perhatian pada pemahaman diri serta tindakan sosial sekaligus.
c.       Penekanan musti diletakkan pada tindakan yang cerdas dalam mengejar keadilan sosial.
d.      Mata pelajaran harus bersifat pilihan dalam batas-batas penentuan yang umum.
e.       Penekanan harus diletakkan pada penerapan praktis dari yang sifatnya intelektual (praksis) melebihi apa yang secara sempit bersifat praktis ataupun akademis.
f.       Sekolah musti menekankan problema-problema sosial yang controversial, menekankan pengenalan dan analisis terhadap nilai-nilai dan prakiraan-prakiraan dasar yang menggarisbawahi isu-isu sosial, dan memperagakan kepedulian khusus terhadap penerapan apa yang dipelajari didalam ruang kelas kepada kegiatan-kegiatan yang punya arti penting secara sosial diluar sekolah; sekolah musti secara tipikal menampilkan pendekatan-pendekatan antar disiplin keilmuan yang berpusat pada problema, yang meliputi wilayah kajian seperti filosofi, psikologi, kesusasteraan kontemporer, sejarah, dan ilmu-ilmu behavioral dan sosial.[8]
7.      Pelajaran
Menekankan problema-problema dan isu-isu sosial yang controversial, menekankan pengenalan dan analisis terhadap nilai-nilai dan pra anggapan yang melatarbelakangi kepedulian khusus terhadap penerapan apa yang dipelajari di kelas dalam kegiatan-kegiatan yang punya arti sosial penting diluar kelas, secara tipikal menempatkan pendekatan-pendekatan yang berpusat pada problema antar disiplin keilmuan yang mencakup wilayah psikologi, filosofi, kesusateraan masa kini, sejarah dan ilmu-ilmu behavioral dan sosial.[9]
                                                                          
8.      Metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar
Harus ada penekanan yang kurang lebih seimbang atau setara pada pemahaman problema (pengenalan dan analisis terhadap problema-problema secar tepat) serta pemecahan masalah.
Disiplin dan hapalan mungkin kadang-kadang perlu supaya bisa menguasai sebuah keterampilan yang akan diperlukan demi menangani problema-problema personal atau sosial yang penting secra efektif, namun kegiatan belajar pada dasarnya adalah keluaran sampingan dari kegiatan yang bermakna, dan hapalan harus diminimalisir dan/atau dihapus sama sekali jika mungkin.
Kegiatan belajar mengajar yang diarahkan oleh siswa dalam kerangka kerja kurikulum yang ditentukan berdasarkan relevansi sosialnya adalah lebih tinggi/lebih baik daripada belajar dengan ditentukan dan diarahkan oleh guru.
Sang guru harus dipandang sebagai panutan dalam hal komitmen intelektual serta keterlibatan sosialnya.
Ujian yang didasarkan kepada perilaku para siswa yang tanpa dilatih/dipersiapkan lebih dulu sebagai tanggapan atas persoalan-persoalan sosial yang penting adalah lebih disukai ketimbang ujian yang dinilai berdasarkan tes-tes biasa diruang kelas.
Persaingan antar pribadi dan penyusunan peringkat nilai siswa secara tradisional harus diminimalisir dan/atau dihapus sama sekali jika mungkin, sebab hal-hal semacam itu menuntun siswa pada sikap-sikap buruk dan motivasi diri yang merosot.
Penekanan harus diletakkan pada perlunya lembaga-lembaga sosial yang baru (termasuk lembaga pendidikan).
Bimbingan dan penyuluhan personal, serta terapi kejiwaan sebagaimana yang ada di luar sekolah saat ini, umumnya berfungsi sebagai bentuk tersembunyi dari control sosial dan pelatihan penyesuaian diri anak yang menghalangi kesadaran anak akan kondisi-kondisi sosial yang melatarbelakanginya, yang melahirkan problema-problema kejiwaan individual.
9.      Kendali Ruang Kelas
Para siswa musti dianggap bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka sendiri dalam arti seketika, namun musti diakui bahwa pertanggung jawaban siswa pada puncaknya tak bisa dituntutdalam arti menurrut konsep ‘kehendak bebas’ tradisional.
Para guru harus bersifat demokratis dan objektif dalam menentukan tolok ukur perilaku, dan tolok ukur semacam itu harus ditentukan secara bersama-sama dengan para siswa, sebagai cara mengembangkan rasa tanggung-jawab moral mereka
Lantaran tindakan yang bermoral adalah tindakan yang paling cerdas, dalam situasi apapun, maka peningkatan kecerdasan praktis adalah corak pendidikan moral yang paling efektif. Disisi lain, tindakan yang cerdas, sebagai sebuah cita-cita atau corak ideal secara sosial yang dianjurkan, memerlukan adanya masyarakat yang cerdas (yang objektif) dimana setiap orang diberi kesempatan yang setara untuk membuat pilihan-pilihan tercerahkan berdasarkan kesempatan-kesempatan pendidikan yang setara.[10]




EmoticonEmoticon