Tuesday, 11 November 2014

FILSAFAT ILMU - PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MANUSIA : MITIS, ONTOLOGIS, FUNGSIONAL

Tags



Pemikiran Mitologis
            Bagi manusia modern sekalipun, pemikiran mitologis bukanlah sesuatu yang asing dan begitu jauh dengan diri manusia. Kita semua kenal dengan dunia mistis dan upacara-upacara magis masih berada disekitar kita, karena para orangtua dan guru kita seringkali menuturkannya.
            Upacara-upacara magis terjadi disekitar kita pada saat memulai bercocok tanam, masa panen, pindah rumah baru dan sebagainya. Kita juga sering menyaksikan dan mendengarkan cerita-cerita tentang kesaktian seorang dukun (paranormal) melalui kekuatan magis kerisnya, kitab-kitab sucinya dan lain-lain.
            Pemikiran mistis merupakan suatu pola pikir yang menyatakan bahwa diri manusia berada didalam kungkungan kekuatan gaib alam (hukum-hukum alam) dan para dewa. Hal itu membuktikan bahwa itu bukan sesuatu yang diada-adakan, melainkan benar-benar ada. Lebih tepat lagi, hal itu dipahami sebagai gejala manusiawi belaka.
            Memang, pemikiran mistis secara jelas tampak pada kebudayaan primitif, dimana tingkah laku manusia secara langsung melibatkan diri dengan para dewa sebagai sumber kekuatan alam yang serba misterius. Dunia seperti itu masih belum dikacaukan oleh campur tangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sering kita memahami bahwa kebudayaan primitif itu diisi oleh sikap pasrah dan menyerah, tulus dan ikhlas pada kekuatan-kekuatan ghaib.
            Manusia primitif masih sangat sederhana, dan hidup hanya dengan mengikuti hukum-hukum alam. Karena itu, kehidupan mereka statis, tidak perubahan dan perkembangan. Tetapi jika diamati lebih cermat, sebenarnya tidaklah begitu sederhana. Didalamnya telah ada kaidah-kaidah yang dipakai sebagai pedoman bertingkahlaku sosial. Dalam masalah perkawinan, misalnya, sudah ada larangan bagi pemuda dan pemudi tertentu untuk berhubungan. Masalah sosial politik pun sudah ada, yaitu kadang kita dengar adanya pembunuhan atau pengucilan terhadap sejumlah orang yang melanggar kaidah-kaidah sosial. Kadang juga terjadi perang antar suku dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa mitos bukanlah dongeng belaka, melainkan lebih sebagai suatu buku pedoman bagaimana hidup itu diselenggarakan.
            Selanjutnya, pemikiran mitologis seringkali dipahami sebagai pemikiran yang tidak logis atau tidak ilmiah. Pemikiran ini secara positif dipahami sebagai awal dari perkembangan pemikiran manusia. Pemikiran mitologis kemudian disebut sebagai “pra-logis” atau pemikiran kekanak-kanakan. Memang sifat kesederhanaannya sangat menonjol. Ketika mereka sedang ditimpa wabah penyakit, pemikirannya memastikan bahwa dewaa sedang murka. Ole karena itu, diadakanlah upacara-upacara dan sesaji-sesaji. Lebih dari sekadar memohon pengampunan kepada dewata, upacara dan sesaji itu cenderung difungsikan sebagai cara mendidik diri agar tabah dalam mendapatkan kekuatan gaib untuk menghadapi segala ancaman baik dari para dewa maupun dari alam. Hal ini berarti dengan logika yang amat sederhana itu, masyarakat primitif telah mempunyai sikap menghadapi dan mengatasi alam. Jadi tidaklah hanya pasrah dan menyerah begitu saja.
            Untuk lebih mendapatkan kejelasan mengenai arti pemikiran mitologis, ada baiknya mempertimbangkan fungsi-fungsinya dalam kehidupan sehari-hari.
            Mitos dalam bahasa Inggris berarti “myth”, yang berarti “dongeng” atau “suatu cerita buatan”. Biasanya dongeng dibuat untuk memberikan pedoman agar tingkah laku dan perbuatan manusia lebih terarah. Tentu saja terarah kepada kebaikan-kebaikan.
Mitos bukan hanya cerita-cerita penghibur tau laporan berbagai peristiwa alam saja. Lebih dari itu, mitos merupakan suatu rangkaian yang panjang dan mampu menggetarkan jiwa yang kemudian bisa mendorong manusia untuk mengarahkan tingkah lakunya sehingga bisa tercipta suatu kebijaksanaan hidup.
Jadi, sebenarnya didalam pikiran mitologis manusia telah mulai memerankan diri sebagai subjek terhadap alam. Hanya saja belum ada kemampuan sebagai subjek yang utuh dan bulat. Maksudnya, didalamnya masih ada rongga-rongga dan celah-celah dimana kekuatan alam sebagai objek masih dapat menerobos dan membelenggu pikiran. Karena subjektivitas inilah, manusia mudah melebur dengan sesamanya, dan antara manusia dengan alam berada secara rapat atau tidak ada jarak pemisah. Akibatnya, posisi manusia cenderung integral dengan alam. Karena itu, ketergantungannya terhadap alam sangat dominan didalam hidup dan kehidupannya.
Alam pikiran mitologis yang bersumber dari daya batin manusia atas pengalaman hidupnya, jelas disusun untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Jika direnungi terhadap sesama, rupanya mitos itu terarah kepada terciptanya suatu cara melahirkan kesadaran manusia, bahwa diluar dirinya ada kekuatan-kekuatan alam yang dahsyat dan ajaib. Dengan mitos, manusia berharap agar dapat mengatasi berbagai kekuatan alam gaib yang berpengaruh besar terhadap kehidupaannya. Dengan kata lain, alam gaib dihayati sebagai alam suci yang kekuatannya mempengaruhi alam kehidupan sehari-hari manusia. (alam gaib sering disebut sebagai alam atas sedangkan alam kehidupan sehari-hari sering diidentikkan dengan alam bawah).
Dengan demikian, alam pikiran mitologis mempunyai ciri-ciri khusus seperti : belum adanya kesadaran diri (identitas diri), diri manusia adalah integral dari alam dan masyarakatnya, ada kekuatan dahsyat dari para dewa dan alam yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan, dan tegasnya manusia belum mampu berdiri ssebaga subjek yang utuh dan bulat.
PEMIKIRAN FUNGSIONAL
            Dalam perkembangan selanjutnya, humanism yang sebelumnya telah mengemasi seluruh aktivitas psikis/fisis manusia, kembali menjadi basic dalam pemikiran yang fungsional.
            Pada masa ini terdapat beberapa isme (paham) yang dapat dikatakan menguatkan kedudukan humanism sebagai basic dalam perkembangan hidup manusia. Paham-paham tersebut itu antara lain : rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, pragmatisme, dan lain-lain.
1.   Rasionalisme
Aliran ini memandang bahwa budi atau rasio adalh sumber dan pangkal segala pengertian dan pengetahuan, dan budilah yang memegang tampuk pimpinan dalam bentuk mengerti. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan sama sekali menyisihkan pengetahuan indra. Sebab, pengetahuan indra hanya menyasatkan saja. Dengan metoda “keragu-raguan”, pemikiran Descartes (1596-1650) ingin mencapai kepastian. Jika orang ragu-ragu, tampaklah ia berpikir, sehingga akan tampak dengan segera adanya sebab dari proses berpikir tersebut. Oleh karena itu, dari metode keraguan ini, muncullah kepastian tentang eksistensi dirinya sendiri. Itulah yang kemudian dirumuskan dengan “cogito ergo sum” (karena saya berpikir, maka saya ada).
Tokoh-tokoh lain dari paham rasionalisme ini adalah Baruch Spinosa (1632-1677) dan Leibniz (1646-1716).
2.   Empirisme
Lawan rasionalisme adalah empirisme. Jadi, bukan budi yang menjadi pangkal dan sumber pengetahuan, melainkan indra atau pengalamanlah yang menjadi pangkal pengetahuan. Aliran ini memandang bahwa yang berguna bagi kehidupan adalah ilmu yang diperoleh melalui indra(pengalaman), karena hanya pengetahuan inilah yang pasti benar. Tokoh-tokoh paham ini seperti Francis Bacon (1210-1292), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan David Hume (1711-1776).
   Kalau kaum rasionalis berpendapat bahwa manusia sejak lahir telah dikaruniai idea oleh Tuhan yang dinamakan idea innate atau idea terang benderang atau idea bawaan, maka kaum empiris berpendapatberlawanan. Mereka mengatakan bahwa waktu lahir jiwa manusia itu putih bersih (tabularasa), tidak ada bekal dari siapapun yang merupakan idea innate tersebut.
3.   Kritisisme
Immanuel Kant (1724-1804), seorang filosof berkebangsaan Jerman, mencoba mengatasi pertikaian antara rasionalisme dan empirisme. Pada mulanya, Kant mengakui rasionalisme, kemudian empirisme datang mempengaruhinya. Dalam menghadapi empirisme, ia tidak begitu saja menerimanya, karena ia tahu bahwa empirisme itu membawa keraguan pada budi.
Sedangkan cara-cara mengompromikan antara kedaulatan akal budi dengan pengalaman adalah : “bagaimanapun fungsi akal adalah yang pertama dan utama, namun akal harus mengetahui persoalan-persoalan yang ada diluar jangkauannya. Pada waktu akal dapat meraih pengetahuan, disinilah batas-batas dimana ketentuan-ketentuan akal tidak berlaku lagi. Sejak itulah fungsi pengalaman tampil sebagai suatu cara pencapaian suatu pengetahuan.”
4.   Idealisme
Ketidakpuasan terhadap ajaran Kant muncul yang justru dilakukan oleh murid-muridnya sendiri. Mereka tidak puas trhadap ajaran Kant yang menyatakan bahwa, “akal manusia tidak akan sampai pada realitas yang terdalam dan hanya akan sampai pada pengetahuan tentang fenomena atau gejala-gejala saja.
Para murid Kant yang dulu setia bahkan berbalik menyerang Kant, dan mereka bermetafisika untuk mencari suatu dasar bagi renungan mereka. Dasar itulah yang kemudian dibangun menjadi suatu sistem metafisika. Mereka sangat memperhatikan kesadaran dan pengalaman yang dicari dan didapat dari dasar tindakan. Dasar tindakan itu adalah “AKU” yang merupakan subjek yang sekonkret-konkretnya. Dari dasar tersebut, lahirlah kesimpulan dan memberi keterangan tentang keseluruhan yang ada. Yang ada itulah yang disebut idealisme.
Karena idealisme berdasarkan subjek, maka ada yang menyebut aliran idealisme itu sebagai aliran idealisme-subjektif. Tokoh-tokoh terkemuka idealisme ini adalah J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Schelling (1775-1854), dan G.W.F. Hegel (1770-1831).
5.   Positivisme
Lain negeri, lain pula perkembangannya. Begitu pula perkembangan filsafat di Perancis. Disana, orang mengalami suatu revolusi yang hebat. Wahyu dan agama ditumbangkan dari kedudukannya dan diganti dengan tradisi sebagai pegangan dan kepastian berpikir. Aliran ini disebut tradisionalisme. Dilain pihak, di Prancis juga muncul aliran baru yaitu “positivisme”, yang ditokohi oleh Aufust Comte (1798-1857).
Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat. Maka, jiwa dan budi haruslah mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang. Dikatakan bahwa sekarang ini sudah masanya harus hidup dengan pengabdian ilmu yang positif yaitu matematika, fisika, biologi, dan ilmu kemasyarakatan.
6.   Evolusionisme
Akibat perkembangan aliran positivisme, lahirlah aliran evolusionisme. Tokoh aliran ini yang terkenal adalah Charles Darwin (1809-1903). Ia memandang bahwa mansia tidak berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan serta dengan benda apapun.
7.   Realisme Modern
Aliran filsafat ini menyatakan bahwa berpikir itu berkaitan dengan yang tampak dan relitas itu tidak tergantung pada segala pengetahuan. Objek material yang terdapat dan tampak dari luar itu lepas dari pengetahuan kita. Benda-benda itu berada dengan sendirinya, lepas dari pengalaman indra manusia. Artinya, benda itu diketahui atau tidak oleh manusia, benda itu akan tetap ada. Tokoh aliran ini adalah Bertrand Russel (1872-1970).
8.   Pragmatisme
Aliran ini menekankan pada praktikdalam mengadakan pembuktian pembenaran dari sesuatu hal yang dapat dilihat dari tindakannya yang praktis atau dari kegunaan.. menurut pragmatisme, berpikir itu mengabdi pada tindakan, dan tugas pikir itu untuk bertindak. Pragmatisme ini timbul di Amerika, tokohnya adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914), yang kemudian dikembangkan oleh John Dewey (1858-1952).
9.   Materialisme
Materialisme berpendirian bahwa pada hakikatnya segala sesuatu itu adalah bahan belaka. Pandangan ini berjaya pada abad ke-19 dan di Eropa, hal itu terasa sekali pengaruhnya. Misalnya di Perancis yang dipelopori oleh LaMettrie (1709-1751). Menurut LaMettrie, manusia adalah mesin yang sama dengan binatang. Prinsip hidup pada umumnya diingkari dengan petunjuk bahwa, “tanpa jiwa, badan dapat hidup, tetapi jiwa tanpa badan tidak dapat hidup.” Contohnya jantung katak yang dikeluarkan dari tubuhnya masih dapat berdenyut beberapa detik. Sedangkan tidak akan pernah ada katak tanpa ada badan. Materialisme ini meluas sampai ke Jerman dengan tokoh-tokohnya seperti Feurbach (1804-1872), Karl Georg Buchner (1813-1837), dan Molenschot.
10.  Eksistensialisme
Pada saat sekarang ini, aliran filsafat ini mempunyai kedudukan yang utama dihati semua orang. Ciri-ciri umum aliran ini yaitu :
a.    Orang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan yang sesungguhnya, sebagaimana yang ada.
b.   Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Sooren Kierkegaard (1815-1855), Martin Hiedegger (1889-1976), Karl Jaspers (1883-1969), ketiganya dari Jerman.

1 comments so far

ijin untuk menggunakannya sebagai referensi tugas ya, kak
terima kasih

-Ty-


EmoticonEmoticon