Biografi Al-Maturidi
Al-Maturidi nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi
adalah teolog terkemuka yang menggolongkan dirinya dalam barisan kaum ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah. Paham Teologis yang dikemukakannya dan dianut oleh para
pengikutnya kemudian dikenal dengan nama
Maturidiyah. Beliau lahir di Maturidi dekat dengan Samarkand (di Asia Tengah
kira-kira pada tahun 852 M/238 H) yang sebenarnya tanggal kelahirannya tidak
dapat diketahui secara pasti hanya merupakan suatu perkiraan berdasarkan bahwa
ketiga gurunya Muhammad bin Muqatil al-Razi wafat pada tahun 862 M atau 248,
beliau sudah berusia sepuluh tahun. Jika perkiraan ini benar, maka berarti mempunyai
usia yang sangat panjang karena diketahui beliau wafat di Samarkand pada tahun
944 M atau 333 H. Adapun nama al-Maturidi
dihubungkan dengan tempat kelahirannya yaitu Maturidi
Karir pendidikan Al Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk
menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat
pengetahuan dalam menghadapai paham-paham teologi yang banyak berkembang pada
masyarakat Islam yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar
menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk
karya tulis, diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Al Qur’an, Makhas Asy
Syara’i, Al Jadl, Ushul Fi Ushul Ad Din, Maqalat Fi Al Ahkam Radd Awai’il Al
Abdillah Li Al Ka’bi, Radd Al Ushul Al Khamisah Li Abu Muhammad Al Bahili,Radd
Al Imamah Li Al Ba’ad Ar Rawafid Dan Kitab Radd ‘Ala Al Qaramatah.
Golongan Aliran Maturidiyah
Munculnya aliran Maturidiyah bersama-sama dengan Asy’ariyah sebagai
reaksi terhadap aliran Mu’tazilah yang dinilai terlalu bebas dalam menggunakan
akal yang diidentifikasikan sebagai kelompok ahl- al sunnah wal al jamaah yang
kelihatannya terdapat perbedaan-perbedaan paham di antara keduanya. Sekalipun
perbedaannya tidak terlalu jauh. Pada aliran Maturidiyah sendiri terdapat dua kelompok yang memiliki kecenderungan
pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand dan Bukhara.
1. Kelompok
Samarkand adalah pengikut Abu
Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944 M) di mana paham-paham teologinya lebih dekat
kepada Mu’tazilah yang rasional.
2. Kelompok
Bukhara adalah pengikut dari Yusar
Muhammad al-Bazdawi (w.1100 M) yang pemikiran-pemikiran
teologinya lebih cenderung kepada pemikiran al-Asy’ariyah yang tradisional.
Dengan demikian sejarah perkembangan teologi Islam sebagai fakta dan
realita yang mengungkapkan pemikiran-pemikiran tokoh itu tidak selamanya sama
dengan pengikutnya. Dengan kata lain tidak mutlak antara seorang murid dengan
gurunya mempunyai pemikiran yang selalu sama.
Doktrin-doktrin
Teologi Al Maturidiyah
1. Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi
mendasarkan pada Al-qur’an dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Asyari, namun
porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan Al
Asyari.
Menurut Al Maturidi
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal.
Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat
Al-qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan keimanannya kepada Allah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya.
Dalam masalah baik dan
buruk Al Maturidi berpendapat bahwa baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada
sesuatu itu sendiri. Sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah
mengikutI ketentuan akal, mengenai baik buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa
akal tidak selalu mampu membedakan antara hal yang baik dan hal yang buruk,
namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam
kondisi demikian wahyu diperlukan untuk sebagai pembimbing.
Tentang mengetahui
kebaikan dan keburukan sesuatu dengan akal, Al Maturidi sependapat dengan
Mu’tazilah. Hanya saja bila Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan baik
dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi
mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu
saja. Sedangkan menurut Al Asy’ari baik
atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu dipandang baik
karena perintah syara’ dan dipandang buruk karena larangan syara’. Jadi, yang
baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan
Allah. Pada konteks ini Al Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah
dan Al Asy’ari.
2. Perbuatan Tuhan dan
Perbuatan Manusia
Aliran maturidiyah
Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan hanyalah
menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban
melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman Rasul dipandang
sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara
memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai paham bahwa Tuhan tidak
mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al Bazdawi. Tuhan pasti
menepati janji-Nya seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik,
walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa
besar.157-159
Menurut Al Maturidi
perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaan-Nya. Khusus perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan
kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar
kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal
ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan
qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. 126
3. Kekuasaan Dan Kehendak
Mutlak Tuhan
Perbuatan dan segala
sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan.
Menurut Al Maturidi bukan berarti dalam hal ini Tuhan berbuat dan berkehendak
dengan sewenang-wenang dengan kehendak-Nya semata. Hal ini karena Tuhan tidak
sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai
dengan hikmah dan keadilan yang ditetapkan-Nya.128 Tuhan adil mengandung arti
bahwa segala perbuatan Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk
serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban Nya terhadap manusia. Oleh karena
itu, Tuhan tidak akan memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia dan
tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat
zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya.187
4. Sifat Tuhan
Terdapat persamaan antara
Al Asy’ari dan Al Maturidi tentang sifat Tuhan. Keduanya berpendapat bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti bashar, sama’ dan sebagainya. Akan tetapi
pengertian sifat Tuhan Al Maturidi berbeda pendapat dengan Al Asy’ari. Al
Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan
melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat
itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.
Paham Al Maturidi tentang makna sifat Tuhan hampir mendekati paham Mu’tazilah.
Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-maturidi tentang adanya
sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. 128
5. Melihat Tuhan
Al Maturidi mengatakan
bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara
lain firman Allah dalam surat Al Qiyamah ayat 22 dan 23.
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
kepada Tuhannyalah mereka melihat”
Al maturidi lebih lanjut
mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan
mempunyai wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat
tidak dalam bentuknya, karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di
dunia.129
6. Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan
antara kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi
(sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat Qadim bagi
Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis).
Al qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baru
(hadis). kalam nafsi tidak dapat diketahui hakikatnya dan bagaimana Allah
bersifat dengannya tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan satu perantara.
7. Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu
mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada
manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban
lainnya dari syariat yang dibeban kepada manusia. Oleh karena itu, menurut maturidi
akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban
tersebut. Jadi, pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa
mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia telah membebankan
sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.130
8. Pelaku Dosa Besar
Aliran Maturidiyah baik
Samarkand maupun Bukhara sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap
sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang
diperolehnya kelak diakherat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia.
Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkann
sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu
diampuni, Ia akan memasukkannya ke neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya. 138
9. Iman dan Kufur
Dalam masalah Iman, aliran
maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al qalb,
bukan semata-mata iqrar bi al lisan. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam
bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
Menurut Al Maturidi, tashdiq harus diperoleh dari ma’rifah.
Adapun pengertian iman
menurut al Maturidiyah Bukhara seperti yang dijelaskan oleh Al Bazdawi adalah tashdiq
bi al qalb dan tashdiq bi al lisan. Tashdiq bi al qalb adalah
meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan Rasul-Rasul yang
diutusnya beserta risalah yang dibawanya. Sedangkan tashdiq al lisan
adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran islam secara verbal.149-150
EmoticonEmoticon