Sunday, 31 August 2014

ILMU KALAM : ALIRAN MATURIDIYAH



 Biografi  Al-Maturidi


Al-Maturidi nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi adalah teolog terkemuka yang menggolongkan dirinya dalam barisan kaum ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Paham Teologis yang dikemukakannya dan dianut oleh para pengikutnya kemudian dikenal dengan  nama Maturidiyah. Beliau lahir di Maturidi dekat dengan Samarkand (di Asia Tengah kira-kira pada tahun 852 M/238 H) yang sebenarnya tanggal kelahirannya tidak dapat diketahui secara pasti hanya merupakan suatu perkiraan berdasarkan bahwa ketiga gurunya Muhammad bin Muqatil al-Razi wafat pada tahun 862 M atau 248, beliau sudah berusia sepuluh tahun. Jika perkiraan ini benar, maka berarti mempunyai usia yang sangat panjang karena diketahui beliau wafat di Samarkand pada tahun 944 M atau 333 H. Adapun nama al-Maturidi  dihubungkan dengan tempat kelahirannya yaitu Maturidi
Karir pendidikan Al Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapai paham-paham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Al Qur’an, Makhas Asy Syara’i, Al Jadl, Ushul Fi Ushul Ad Din, Maqalat Fi Al Ahkam Radd Awai’il Al Abdillah Li Al Ka’bi, Radd Al Ushul Al Khamisah Li Abu Muhammad Al Bahili,Radd Al Imamah Li Al Ba’ad Ar Rawafid Dan Kitab Radd ‘Ala Al Qaramatah.

   Golongan Aliran Maturidiyah

Munculnya aliran Maturidiyah bersama-sama dengan Asy’ariyah sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah yang dinilai terlalu bebas dalam menggunakan akal yang diidentifikasikan sebagai kelompok ahl- al sunnah wal al jamaah yang kelihatannya terdapat perbedaan-perbedaan paham di antara keduanya. Sekalipun perbedaannya tidak terlalu jauh. Pada aliran Maturidiyah sendiri terdapat dua kelompok yang memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand dan Bukhara.
1.      Kelompok Samarkand adalah pengikut Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944 M)  di mana    paham-paham teologinya lebih dekat kepada Mu’tazilah yang rasional.
2.      Kelompok Bukhara adalah pengikut dari Yusar Muhammad al-Bazdawi (w.1100 M) yang pemikiran-pemikiran teologinya lebih cenderung kepada pemikiran al-Asy’ariyah yang tradisional.
Dengan demikian sejarah perkembangan teologi Islam sebagai fakta dan realita yang mengungkapkan pemikiran-pemikiran tokoh itu tidak selamanya sama dengan pengikutnya. Dengan kata lain tidak mutlak antara seorang murid dengan gurunya mempunyai pemikiran yang selalu sama.

Doktrin-doktrin Teologi Al Maturidiyah

1.      Akal dan wahyu
Dalam   pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-qur’an dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Asyari, namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan Al Asyari.
Menurut Al Maturidi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya kepada Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. 
Dalam masalah baik dan buruk Al Maturidi berpendapat bahwa baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri. Sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikutI ketentuan akal, mengenai baik buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara hal yang baik dan hal yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian wahyu diperlukan untuk sebagai pembimbing.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu dengan akal, Al Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja bila Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Sedangkan menurut Al Asy’ari  baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu dipandang baik karena perintah syara’ dan dipandang buruk karena larangan syara’. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini Al Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al Asy’ari.
2.      Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Aliran maturidiyah Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman Rasul dipandang sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai paham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al Bazdawi. Tuhan pasti menepati janji-Nya seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar.157-159
Menurut Al Maturidi perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. 126
3.      Kekuasaan Dan Kehendak Mutlak Tuhan
Perbuatan dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Menurut Al Maturidi bukan berarti dalam hal ini Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang dengan kehendak-Nya semata. Hal ini karena Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang ditetapkan-Nya.128 Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.187
4.      Sifat Tuhan
Terdapat persamaan antara Al Asy’ari dan Al Maturidi tentang sifat Tuhan. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti bashar, sama’ dan sebagainya. Akan tetapi pengertian sifat Tuhan Al Maturidi berbeda pendapat dengan Al Asy’ari. Al Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Paham Al Maturidi tentang makna sifat Tuhan hampir mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. 128
5.      Melihat Tuhan
Al Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lain firman Allah dalam surat Al Qiyamah ayat 22 dan 23.  
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat”


Al maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.129
6.      Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat Qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Al qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baru (hadis). kalam nafsi tidak dapat diketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan satu perantara.
7.      Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada  manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibeban kepada manusia. Oleh karena itu, menurut maturidi akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.130
8.      Pelaku Dosa Besar
Aliran Maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkann sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, Ia akan memasukkannya ke neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya. 138
9.      Iman dan Kufur
Dalam masalah Iman, aliran maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al qalb, bukan semata-mata iqrar bi al lisan. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Menurut Al Maturidi, tashdiq harus diperoleh dari ma’rifah.
Adapun pengertian iman menurut al Maturidiyah Bukhara seperti yang dijelaskan oleh Al Bazdawi adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al lisan. Tashdiq bi al qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan Rasul-Rasul yang diutusnya beserta risalah yang dibawanya. Sedangkan tashdiq al lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran islam secara verbal.149-150




EmoticonEmoticon