Tuesday 18 November 2014

HUKUM NIKAH HAMIL





BAB I
PENDAHULUAN

Puji syukur pada Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat kesehatan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Nikah Hamil”. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi teladan bagi kita semua.
Tujuan kami membuat makalah adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Munakahat. Selain itu juga agar kita sebagai umat muslim mengetahui hukum-hukum perkawinan nikah antar agama dan nikah hamil, yang pada sekarang ini marak terjadi di negara kita.
Semoga apa yang saya sajikan pada halaman-halaman selanjutnya berguna bagi kita semua.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    NIKAH HAMIL
Kehamilan dapat terjadi melalui perkawinan yang legal, atau melalui hubungan akibat perkosaan, atau melalui hubungan suka sama suka di luar nikah yang disebut dengan perzinaan/prostitusi.
Persoalan hukum yang timbul adalah, (a) apakah ajaran Islam membolehkan mengawini perempuam yang sedang hamil, kehamilan sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah yang kemudian suami meninggal dunia sedangkan istri dalam keadaan hamil, ataupun kehamilan karena hubungan diluar nikah baik yang diakibatkan perkosaan atau melaui perzinaan. (b) Bolehkah seorang wanita hamil karena zina dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya.
Para pakah hukum Islam/ahli hukum fikih berbeda pendapat dalam masalah ini. Mam Syafi’i Hanafi, Maliki dan Imam Hambali membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena zina, asalkan yang menikahinya itu adalah laki-laki yang menghamilinya, sebab hamil semacam ini tidak menyebabkan haramnya dikawini.
Kebolehan wanita yang sedang hamil dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, oleh para ulama didasarkan kepada alasan bahwa keduanya adalah pezina. Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 3 menegaskan, bahwa pezina itu hanya pantas dinikahkan dengan pezina pula, atau dengan orang musyrik. Dan dalam hal itu diharamkan bagi orang yang beriman.
Adapun menikahi wanita yang sedang hamil dan kehamilannya itu karena perbuatan orang lain, menurut pendapat Imam Abu Yusuf, perkawinannya hukumnya fasid (batal). Hal ini didasarkan pula kepada ayat 3 Surat An-Nur. Sedangkan Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil yang dihamili laki-laki lain adalah sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain, dan boleh mengumpulinya karena janin yang telah ada tidak kan ternoda oleh benih yang baru ditanam.
Bagaimana pula kedudukan bayi yang dilahirkan dari kehamilan yang dihamili orang lain.  Para ulama sepakat menetapkan bahwa staus anak tersebut adalah anak zina dan nasabnya dihubungkan dengan ibunya.
Tetapi para ulam berbeda kepada kedua pendapat dalam hal jika laki-lai yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya. Pertama, berpendapat bahwa jika pernikahan dilakukan setelah janin itu berumur 4 bulan, maka status itu adalah anak zina, nasabnya hanya dihubungkan kepada ibu yang melahirkannya. Tetapi jika pernikahan itu dilakukan sebelum janin berumur 4 bulan, maka anak itu dianggap anak sah dari suami istri itu.
Kedua, mengatakan bahwa walaupun janin yang ada dalam kandungan wanita itu baru berumur beberapa hari kemudian wanita itu dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya, maka anak yang dilahirkan tetap dipandang sebagai anak zina, tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang menghamilinya tadi, hal ini karena keberadaan janin itu dalam kandungan lebih daripada pernikahan dilaksanakan.
Dalam hukum yang berlaku di Indonesia masalah nikah hamil di jumpai dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 menyebutkan:
1.         Seorang wanita hamil di luar nikah dapat di kawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.         Perkawinan dengan wanita hamil yang di sebut pada ayat (1) dapat di langsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3.         Dengan di langsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,tidak di perlukan perkawinan ulang setelah anak yang di kandung lahir.
Dari ketentuan Pasal 53 diatas Kompilasi Hukum Islam secara tegas mengatur bahwa perkawinan hamil dapat dilakukan asal yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya. Ketentuan itu sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 3 yang dikutip diatas, bahwa pezina perempuan tidak layak dikawinkan kecuali dengan pezina laki-laki, dan hal itu diharamkan terhadap orang-orang yang beriman. Dan perkawinan secaram ini tidak perlu menunggu habis mada iddah wanita hamil tersbeut, dan tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Pernikahan M. Yahya Harahap telah merumuskan didalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan: “Anak yang sah adalah :”
  1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
  2. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Kalau diperhatikan ketentuan pada angka (1) akan jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam membuka kemungkinan bagi tertampunya anak yang lahir akibat perkawinan hamil ke dalam pengertian anak sah, sekalipun anak itu dilahirkan beberapa hari setelah perkawinan dilaksanakan.
Bagaimana jika perempun hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya. Kompilasi Hukum Islam  tidak mengaturnya. Untuk menjawab masalah ini kita harus melihat pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang dianggap logis dan rasional adalah yang dikemukakan oleh Imam Muhammad as-Syaibani yang mengatakan bahwa perkawinan dengan wanita hamil sah, tetapi haram baginya melakukan coitus, sampai anak yang dikandung itu lahir.
Pemikiran as-Syaibani tersebut menghendaki pemisahan perkawinan hamil dengan anak yang dikandung. Agar tidak terjadi ikhtilath nasab/ percampuran keturunan, maka beliau mengharamkan melakukan hubungan badan sebelum si anak lahir. Dan jika si anak lahir, maka logiknya anak adalah anak si ibu yang melahirkan, dan tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang menikahi ibunya.


1 comments so far


EmoticonEmoticon