BAB I
PENDAHULUAN
Puji syukur pada Allah SWT yang selalu melimpahkan
rahmat kesehatan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Nikah Hamil”. Shalawat dan
salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi
teladan bagi kita semua.
Tujuan kami membuat makalah adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Fiqh Munakahat. Selain itu juga agar kita sebagai umat muslim
mengetahui hukum-hukum perkawinan nikah antar agama dan nikah hamil, yang pada
sekarang ini marak terjadi di negara kita.
Semoga apa yang saya sajikan pada halaman-halaman
selanjutnya berguna bagi kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
A. NIKAH HAMIL
Kehamilan dapat terjadi melalui
perkawinan yang legal, atau melalui hubungan akibat perkosaan, atau melalui
hubungan suka sama suka di luar nikah yang disebut dengan perzinaan/prostitusi.
Persoalan hukum yang timbul adalah,
(a) apakah ajaran Islam membolehkan mengawini perempuam yang sedang hamil,
kehamilan sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah yang kemudian suami
meninggal dunia sedangkan istri dalam keadaan hamil, ataupun kehamilan karena
hubungan diluar nikah baik yang diakibatkan perkosaan atau melaui perzinaan.
(b) Bolehkah seorang wanita hamil karena zina dinikahi oleh laki-laki yang
tidak menghamilinya.
Para pakah hukum Islam/ahli hukum
fikih berbeda pendapat dalam masalah ini. Mam
Syafi’i Hanafi, Maliki dan Imam Hambali membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena
zina, asalkan yang menikahinya itu adalah laki-laki yang menghamilinya, sebab
hamil semacam ini tidak menyebabkan haramnya dikawini.
Kebolehan wanita yang sedang hamil
dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, oleh para ulama didasarkan kepada
alasan bahwa keduanya adalah pezina. Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 3 menegaskan, bahwa pezina itu hanya pantas dinikahkan
dengan pezina pula, atau dengan orang musyrik. Dan dalam hal itu diharamkan
bagi orang yang beriman.
Adapun menikahi wanita yang sedang
hamil dan kehamilannya itu karena perbuatan orang lain, menurut pendapat Imam
Abu Yusuf, perkawinannya hukumnya fasid (batal). Hal ini didasarkan pula kepada
ayat 3 Surat An-Nur. Sedangkan Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa
menikahi wanita hamil yang dihamili laki-laki lain adalah sah, karena tidak
terikat dengan perkawinan orang lain, dan boleh mengumpulinya karena janin yang
telah ada tidak kan ternoda oleh benih yang baru ditanam.
Bagaimana pula kedudukan bayi yang
dilahirkan dari kehamilan yang dihamili orang lain. Para ulama sepakat menetapkan bahwa staus
anak tersebut adalah anak zina dan nasabnya dihubungkan dengan ibunya.
Tetapi para ulam berbeda kepada kedua
pendapat dalam hal jika laki-lai yang menikahinya adalah orang yang
menghamilinya. Pertama, berpendapat
bahwa jika pernikahan dilakukan setelah janin itu berumur 4 bulan, maka status
itu adalah anak zina, nasabnya hanya dihubungkan kepada ibu yang melahirkannya.
Tetapi jika pernikahan itu dilakukan sebelum janin berumur 4 bulan, maka anak
itu dianggap anak sah dari suami istri itu.
Kedua, mengatakan bahwa walaupun janin
yang ada dalam kandungan wanita itu baru berumur beberapa hari kemudian wanita
itu dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya, maka anak yang dilahirkan
tetap dipandang sebagai anak zina, tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada
laki-laki yang menghamilinya tadi, hal ini karena keberadaan janin itu dalam
kandungan lebih daripada pernikahan dilaksanakan.
Dalam
hukum yang berlaku di Indonesia masalah nikah hamil di jumpai dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 53 menyebutkan:
1.
Seorang wanita hamil di luar nikah dapat di kawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2.
Perkawinan dengan wanita hamil yang di sebut pada ayat (1) dapat di
langsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan di langsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,tidak di
perlukan perkawinan ulang setelah anak yang di kandung lahir.
Dari ketentuan Pasal 53 diatas
Kompilasi Hukum Islam secara tegas mengatur bahwa perkawinan hamil dapat
dilakukan asal yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang
menghamilinya. Ketentuan itu sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam
Al-Qur’an surat An-Nur ayat 3 yang dikutip diatas, bahwa pezina perempuan tidak
layak dikawinkan kecuali dengan pezina laki-laki, dan hal itu diharamkan
terhadap orang-orang yang beriman. Dan perkawinan secaram ini tidak perlu
menunggu habis mada iddah wanita hamil tersbeut, dan tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Pernikahan M. Yahya Harahap telah
merumuskan didalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan: “Anak yang
sah adalah :”
- Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
- Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Kalau diperhatikan ketentuan pada
angka (1) akan jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam membuka kemungkinan bagi
tertampunya anak yang lahir akibat perkawinan hamil ke dalam pengertian anak
sah, sekalipun anak itu dilahirkan beberapa hari setelah perkawinan
dilaksanakan.
Bagaimana jika perempun hamil itu
dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya. Kompilasi Hukum Islam tidak mengaturnya. Untuk menjawab masalah ini
kita harus melihat pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang dianggap logis dan
rasional adalah yang dikemukakan oleh Imam Muhammad as-Syaibani yang mengatakan
bahwa perkawinan dengan wanita hamil sah, tetapi haram baginya melakukan
coitus, sampai anak yang dikandung itu lahir.
Pemikiran as-Syaibani tersebut
menghendaki pemisahan perkawinan hamil dengan anak yang dikandung. Agar tidak
terjadi ikhtilath nasab/ percampuran keturunan, maka beliau mengharamkan
melakukan hubungan badan sebelum si anak lahir. Dan jika si anak lahir, maka
logiknya anak adalah anak si ibu yang melahirkan, dan tidak ada hubungan nasab
dengan laki-laki yang menikahi ibunya.
1 comments so far
nice share gan, bagus artikelnya thanks
souvenir pernikahan murah
EmoticonEmoticon